Oktober 13, 2017

0

Seberapa Bermanfaatkah Saya?

Bismillahirrahmanirrahim

Perkenalkan.
Saya Suci Wulandari, kelahiran Tangerang, 31 Oktober 1998. Seorang mahasiswi biasa, kakak dari dua orang adik laki-laki yang berusia 12 tahun dan 6 tahun. Anak dari sepasang laki-laki dan perempuan yang luar biasa kasih sayangnya, luar biasa usahanya dalam mendidik saya.
Ayah saya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Guru, dan ibu saya seorang ibu rumah tangga. Saya saat ini berkuliah di Universitas Negeri Jakarta. Saya tinggal di rumah kos. Keseharian saya kuliah, kumpul bersama teman-teman, dan mengajar di bimbel serta privat untuk menunjang kebutuhan hidup saya. 

2012. Pada awal masa sekolah SMA, di sekolah saya (SMAN 24 Kabupaten Tangerang) selalu diadakan demo atau pertunjukkan tiap-tiap ekstrakulikuler (ekskul). Entah mengapa kemudian saya tertarik untuk mengikuti ekskul Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) dan Rohani Islam (Rohis) dan mundur dari OSIS. Saya merasa bergabung dan memfokuskan diri dengan KIR adalah bagian dari kecintaan saya terhadap IPA, dan bergabung dengan Rohis adalah demi pemenuhan kebutuhan ruhani saya. Oleh sebab saya tetap ingin mempertahankan akademik saya, maka saya tinggalkan OSIS. Menurut saya, bergabung di sedikit organisasi namun untuk melakukan banyak hal adalah jauh lebih baik dibandingkan bergabung dengan banyak organisasi namun tidak melakukan apa-apa.
Selama bergabung dengan KIR (2012-2015), saya dan teman-teman berusaha untuk melakukan banyak hal yang sederhana namun bermakna. Dalam lingkup sekolah, kami mengadakan “Nonton Bareng” alam semesta yang dipandu dan diisi oleh guru-guru kami dengan mengajak seluruh siswa SMA. Hal lain adalah bereksperimen mulai dari yang paling sederhana sampai yang kompleks, kemudian kami cari tahu penjelasannya, mendiskusikannya secara ilmiah, lalu membaginya dengan teman-teman lain. Jika eksperimen ini menghasilkan produk (seperti sabun colek, es krim) maka produk ini kami bagikan  ke penduduk-penduduk di sekitar sekolah. Hal lain yang saya dan teman-teman lakukan adalah menggagas dan menjalankan aksi “Green School” atau penghijauan sekolah (tahun 2013) mengingat ada banyak lahan di belakang kelas-kelas di sekolah kami yang tidak dimanfaatkan. Setelah bergerak di lingkup sekolah, kami mencoba tampil di luar sekolah dengan mengikuti perlombaan-perlombaan ilmiah seperti Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI), Olimpiade Sains Nasional (OSN), dll. hingga berhasil meraih juara II dan III pada lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) dalam rangka Festival Hari Air Dunia oleh Universitas Indonesia dan Kementrian Pekerjaan Umum tahun 2014. Di awal tahun 2014 sampai dengan awal tahun 2015 pula saya diamanahkan menjadi ketua KIR.
Lain KIR, lain pula Rohis. Jika KIR lebih membekali pengetahuan ilmiah dan pola pikir saya, maka Rohislah yang menjadi penyokong pengetahuan agama saya, pengisi kekosongan batin daya, dan pembatas pergaulan saya di masa SMA. Beberapa hal yang mampu saya berikan untuk Rohis adalah menjalankan pengajian rutin setiap jum’at pagi bersama seluruh siswa SMA, mengaktifkan kelompok Studi Qur’an, mengadakan kegiatan perayaan hari-hari besar Islam, dan menjalankan dengan sepenuh hati amanah sebagai Wakil Ketua Rohis di tahun 2014-2015.

Setelah tamat SMA, saya melewati perjalanan panjang untuk dapat melanjutkan studi di perguruan tinggi. Pada Agustus 2015, saya dinyatakan lolos seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Universitas Negeri Jakarta. Masa Pengenalan Akademik (MPA) Kampus memotivasi saya untuk berperan lebih jauh dalam memberikan kontribusi nyata untuk Indonesia tentunya yang berkaitan dengan fungsi seorang mahasiswa. Dan saya mencoba untuk melakukannya dari lingkup terkecil, yakni teman-teman dan keluarga. Salah satu upaya yang saya lakukan adalah bergabung dengan BEM Fisika. BEM fisika merupakan organisasi yang bergerak di bidang pemerintahan, keilmiahan dan teknologi dengan berlandaskan kaidah keagamaan. Melalui BEM, saya belajar bagaimana bermusyawarah, belajar mengasah kepekaan terhadap lingkungan dan orang-orang sekitar, mengasah kepekaan terhadap masalah yang mungkin timbul. Belajar disiplin, baik disiplin waktu, disiplin akhlak, maupun disiplin pemikiran. Bergabung dengan BEM dan bergerak di bidang komunikasi dan informasi membuat saya belajar banyak seputar media. bagaimana mengelola media, mengelola informasi, menghindari berbagai isu yang dapat memecah belah organisasi, serta menjadikannya alat dakwah dengan seoptimal mungkin. Yang saya yakini, setidaknya sedikit kontribusi yang saya berikan dapat memberikan manfaat untuk orang-orang sekitar. BEM menjadi wadah pula untuk saya menjalin relasi dengan banyak orang, baik di dalam maupun luar kampus, BEM menjadi tempat untuk mengasah kemampuan saya dalam bidang desain grafis, fotografi, maupun videografi.
Saat ini saya pun sedang focus mengembangkan media pembelajaran e-learning berbasis system MOOC (Massive Open Online Course) bersama beberapa rekan dan dosen Fisika saya. Besar cita-cita kami dalam menjadikan projek media ini suatu alat yang dapat menghantarkan system pendidikan di Jakarta bahkan di Indonesia menjadi lebih maju. Serta dapat terwujudnya suatu ‘smart learning in smart city’. 

Saat ini, selain memfokuskan diri pada akademik, projek kampus, dan BEM, saya juga meluangkan waktu untuk membantu adik-adik SMAN 24 (tempat saya menuntut ilmu dahulu) sebagai pembimbing ekstrakulikuler KIR di hari sabtu setiap pekannya. Banyak hal yang rasanya ingin saya bagi untuk adik-adik baik itu terkait keilmiahan, maupun terkait kemampuan saya di bidang media. Saya berharap penuh, apa yang saya lakukan dan saya tekuni selama kuliah, baik perihal akademik maupun non akademik dapat berbuah manfaat untuk banyak orang.

Perihal apa yang saya lakukan di BEM, apa yang saya bagi untuk teman-teman dan adik-adik saya percaya Allah pasti berikan balasan. Jika harus ada yang berkorban untuk suatu kemajuan zaman, maka saya ingin menjadi salah satunya. Jika harus ada yang rela bergerak tanpa bayaran demi cerdasnya suatu peradaban, maka saya ingin menjadi salah satunya. Sebab hidup untuk orang lain tentu lebih mulia dibandingkan hidup untuk diri sendiri. 

Inilah saya bagi keluarga dan kontribusi yang telah, sedang, dan akan saya berikan untuk Indonesia

Desember 19, 2015

1

HATI BIMA SAKTI


Melewati Andromeda yang kutahu. Saat kau putuskan untuk terbang lebih jauh. Meninggalkan Ceres-mu yang meratap. Dan melupakan jalur intan yang pernah sangat kau sukai di cincin Saturnus-ku.
Adakah kulihat awan kumulus menangisi kepergianmu?
Tampaknya, tidak.
Sejak jejak langkahmu hilang bersama titik gugus bintang terakhir yang tenggelam di timur samudra, kenangan tentang dirimu, tentang mimpi penjelajahan galaksi misterius-mu, dan seluruh rangkaian puisi yang kau ciptakan saat malam-malam kau berkunjung ke bulan, sudah lenyap ditelan lubang hitam di utara Biduk, tempat dulunya bintang kesayanganku mempertahankan sisa-sisa kehidupannya.
Bintang-ku telah mati. Awan teduhku tak lagi memedulikan apakah bintang pusat tata surya kita maih bertahta atau tidak. Dia mengembara sesukanya, melawan kehendak putaran ion positif di atas pengaruh gaya gravitasi bumi. Dia berduka dengan caranya, dan tak sempat memerhatikanku. Aku sendiri. benar-benar sendiri.
Apalagi yang bisa kulakukan selain makan es krim di pluto pada siang hari, dan memetik bunga musim panas di merkuri pada sore hari?
Tidak ada.
Aku hanya bersenang-senang sepanjang Vega masih mengamatiku – yang memang sudah menjadi tugasnya. Sebab lukaku adalah darah yang membanjiri Neptunus. Tak ada yang menginginkan aku mengotori warna murni milik Triton itu.
Namun, saat tak ada lagi yang mengawasiku, semua tawa, bahagia, dan ceria pun sirna tanpa bekas. Aku membebaskan jiwaku. Melepaskan pedihku. Dan, aku pun menangis, di balik kawah yang tersembunyi di Demos.
Bima sakti, bima sakti, bentangkan sayapmu. Beri aku dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Izinkan aku turut mengembara bersama Halley. Agar aku tahu berapa juta tahun cahaya yang kubutuhkan untuk sampai ke tempatnya.
Aku merindukannya. Ketika melihat ruang kosong yang dulu ditempatinya – diantara Mars dan Yupiter – aku tak bisa mengelak dari rasa itu. Tak mampu aku merelakan kepergiannya yang tiba-tiba. Seharusnya, dia di sana.
Semestinya, dia masih bersamaku, menyaksikan Venus menebar cinta di galaksimu.
Kau juga, putri asteroid! Kenapa kau tak bisa bertahan? Haruskah aku menyalahkan dua bintang yang tak sengaja berbenturan di atasmu, yang mengguncangkanmu waktu itu?
Padahal, kutahu kau juga membujuk sebuah meteor kecil untuk mengejar kupu-kupu Phoebe. Saat ia melewatimu, kau pun terlontar entah kemana..?
Kini, aku… merasa dingin dan sepi, duduk sendiri di atas puncak gunung di Uranus. Aku menyadari kenapa galaksi ini terasa begitu hampa dan tak bernyawa. Adalah karena… kaulah bima sakti, yang memberi warna kehidupan di dalamnya. Karena kau pergi, galaksi ini jadi muram. Seandainya kau kembali, pasti semesta.. akan cerah lagi.

Sebuah surat cinta yang sanggup menggetarkan hati yang sedang hibernasi dari M. Kamelia dalam Kepada Cinta halaman 81.
Dan ya, hati itu adalah aku…

Oktober 25, 2015

1

Mantan


Mantan.

Such a scary word, isn’t it?
Beberapa orang (sengaja meng-)alergi(-kan diri) dengan kata mantan. Banyak sih alasannya, tapi biasanya alasan yang paling sering digunakan adalah tiap kali mendengar kata mantan, jadi teringat masa lalu. Masa lalu yang pahit dan menyakitkan, masa lalu yang menyenangkan tapi jadi menyedihkan karena hal yang menyenangkan itu tidak bisa diulang kembali dan bla.. bla..
Akhirnya kata mantan menjadi sangat dielu-elukan. Tiap kali ada tweet yang ada kata mantannya, diretweet. Atau postingan quotes di instagram yang ada kata mantannya, di-love. Atau tulisan di timeline line dari akun-akun penyebar kegalauan yang tidak mendidik bagi para remaja Indonesia itu langsung dishare di timeline. Mengagumkan sekali reaksinya.
Saya tidak pernah menyalahkan seseorang yang galau karena mantan, tapi ya mbok udah tho. Jangan lama-lama galaunya. Menikmati kegalauan itu memang perlu tapi ya tidak perlu pamer juga ke semua orang bahwa kamu sedang galau.
Memikirkan mantan itu tidak semuanya merugikan. Beberapa orang dengan cerdas menjadikan mantan sebagai tolak ukur untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Misalnya, Sarkomah habis putus sama Bewok. Lantas Sarkomah merenung, berpikir, mengoreksi apa yang salah dari dirinya atau apa yang dia tak suka dari Bewok. Kemudian dia menemukan bahwa ternyata selama berpacaran dengan Bewok, dia jadi sering meninggalkan teman-temannya demi bisa jalan bersama Bewok yang akibatnya saat dia butuh seseorang untuk bercerita, teman-temannya tidak ada yang datang. Lantas dia berpikir, “oh.. berarti kalau nanti saya berpacaran lagi, saya harus tahu cara membagi waktu untuk teman-teman dan pacar. Supaya seimbang. Saya tetap punya pacar dan saya tidak dijauhi teman-teman”.
Kesimpulannya jadi positif untuk diri sendiri. Atau begini, Sarkomah merenung, berpikir, mengoreksi apa sikap atau sifat Bewok yang paling tidak dia sukai? Kemudian dia menemukan bahwa ternyata selama berpacaran, Bewok cemburuan. Kalau Sarkomah sedang bersama teman-temannya dan Bewok kebetulan tahu, Sarkomah bisa dimarahi habis-habisan dan disuruh pulang. Lantas dia berpikir, “oh, berarti kalau saya punya pacar lagi, saya akan memperkenalkan pacar saya dengan teman-teman supaya dia tahu dan tidak perlu cemburu”.
Kesimpulannya positif lagi.
Tapi, ada saja sosok manusia yang menjadikan mantan sebagai patokan kebahagiaan. Pecandu kegalauan. Kerjaannya stalking sosmed mantan, kemudian marah-marah kalau tahu mantannya dekat dengan orang lain, padahal diajak balikan juga tidak mau. Atau ada orang yang senang sekali memfokuskan diri kepada keburukan mantan sampai-sampai kalau ada tweet tentang mantan, dia retweet kemudian dilanjutkan dengan tweet-tweet yang isinya cuma nyinyirin mantan.
Mungkin teman-teman pernah menulis tweet cinta-cintaan yang kemudian dibalas oleh seseorang seperti ini: “menyakitkan sekali saat mengetahui orang yang sangat kau perjuangkan malah memperlakukanmu seenaknya” atau “sedih adalah saat dia tahu kita berjuang mati-matian tapi dia sama sekali tidak berusaha untuk ikut berjuang” atau “mengapa kenyataan begitu menyakitkan?” atau “menyakitkan ketika dia tidak bisa menjadi milik kita dan melihat mantan yang masih dicinta bersama sahabat kita sendiri”.

Nyinyir di timeline tidak akan membuat kamu terlihat baik. Saya tidak bilang kalau saat sedih berarti harus dipendam sendiri. Berceritalah.. tapi hanya kepada yang mau mendengarkan. Berceritalah melalui apa saja. Bercerita dengan sahabat, bercerita melalui puisi, melalui gambar, lukisan, dan banyak hal. Ceritakan sakitmu tapi jangan dipamerkan.
Tidak banyak orang yang peduli. Mereka bertanya, bukan berarti peduli. Kebanyakan hanya ingin tahu lalu menertawakan kesedihanmu.
Bayangkan betapa keji kamu menghina dirimu sendiri. Sudah sakit hati, mempermalukan diri sendiri pula. Membiarkan orang lain menertawakan kesedihan-kesedihanmu.
Berdirilah. Tegak. Sebab kamu matahari.
Sedihlah sesekali, lalu berdiri dan berjalan lagi.
Kamu tidak perlu termangu lama dan menoleh ke belakang, apa lagi hanya untuk membaca keburukan-keburukan mantan.
Sebab yang rugi adalah dirimu sendiri. Sementara kamu sibuk galau memikirkan mantan dan membenci tiap kesalahan dan keburukannya, dia justru sibuk memperbaiki diri. Kelak, saat kamu sadar, kalian sudah beda level untuk sekadar bertukar pikiran dan ngopi.
Karena kamu sibuk membenci dan mengingat masa lalu kalian sementara dia sudah siap membahagiakan orang lain dan dirinya sendiri dengan hal-hal baru yang sudah dia pelajari.
Memangnya enak?

April 30, 2015